24 tahun sudah usia Kota Tanjungpinang sebagai daerah otonom. Namun di usia yang tak muda lagi ini, realitas sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat justru menunjukkan tanda-tanda stagnan. Pertumbuhan kota berjalan lamban, wajah kota nyaris tanpa perubahan berarti, dan peluang kerja bagi anak muda semakin sempit.
Alih-alih menjadi pusat kemajuan dan simbol peradaban Melayu di Kepulauan Riau, Tanjungpinang kini terjebak dalam kondisi yang memprihatinkan. Jumlah penduduk meningkat, namun lapangan kerja tak sebanding. Akibatnya, tingkat kemiskinan kota ini justru tergolong tinggi di antara kabupaten/kota lain di Kepri. sebuah ironi bagi ibu kota provinsi.
Sasjoni menilai bahwa kondisi ini terjadi karena arah pembangunan kota masih terfokus pada proyek fisik tanpa memperhatikan kualitas hidup warga. Kebijakan ekonomi lokal tidak berpihak pada penguatan pelaku usaha kecil dan sektor kreatif. Sementara tata kelola pemerintahan belum menunjukkan inovasi dan keberpihakan nyata pada rakyat kecil.Kami menyerukan agar momentum Hari Jadi ke-24 ini menjadi titik balik, bukan seremoni rutin tanpa makna. Pemerintah Kota Tanjungpinang harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap arah pembangunan, menata kembali kebijakan ekonomi yang pro Rakyat, dan menumbuhkan semangat baru untuk menjadikan Tanjungpinang sebagai kota yang benar-benar hidup, adil, dan berdaya.
Tanjungpinang tak boleh hanya menjadi ibu kota dalam nama, tetapi harus hidup sebagai pusat kebudayaan, ekonomi, dan keadilan sosial di bumi Melayu.(*)